Niku Guru Kulo

Oleh: Bahtiar HS
Era Muslim

Rangkaian acara istihlal (halal bihalal) di TK Wildani dan SD Ghilmani ini tinggal taushiyah dari Ust. Ihya Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Malang. Sudah pukul 10.30. Tetapi, beliau belum juga hadir. Barangkali ada halangan di jalan. Sementara alunan qiraatul Qur’an sebagai pengisi waktu baru saja usai. Pembawa acara kemudian menambah lagi acara sisipan sambutan dari wali santri, yang bagi sebagian orang tentu lebih bersifat seremonial belaka. Juga bagi saya. Apalagi acara istihlal ini memaksa saya harus menambah jumlah hari membolos dari mengikuti kursus Bahasa Inggris setiap hari Sabtu.

Era MuslimRangkaian acara istihlal (halal bihalal) di TK Wildani dan SD Ghilmani ini tinggal taushiyah dari Ust. Ihya Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Malang. Sudah pukul 10.30. Tetapi, beliau belum juga hadir. Barangkali ada halangan di jalan. Sementara alunan qiraatul Qur’an sebagai pengisi waktu baru saja usai. Pembawa acara kemudian menambah lagi acara sisipan sambutan dari wali santri, yang bagi sebagian orang tentu lebih bersifat seremonial belaka. Juga bagi saya. Apalagi acara istihlal ini memaksa saya harus menambah jumlah hari membolos dari mengikuti kursus Bahasa Inggris setiap hari Sabtu.Era MuslimRangkaian acara istihlal (halal bihalal) di TK Wildani dan SD Ghilmani ini tinggal taushiyah dari Ust. Ihya Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Malang. Sudah pukul 10.30. Tetapi, beliau belum juga hadir. Barangkali ada halangan di jalan. Sementara alunan qiraatul Qur’an sebagai pengisi waktu baru saja usai. Pembawa acara kemudian menambah lagi acara sisipan sambutan dari wali santri, yang bagi sebagian orang tentu lebih bersifat seremonial belaka. Juga bagi saya. Apalagi acara istihlal ini memaksa saya harus menambah jumlah hari membolos dari mengikuti kursus Bahasa Inggris setiap hari Sabtu.Era MuslimRangkaian acara istihlal (halal bihalal) di TK Wildani dan SD Ghilmani ini tinggal taushiyah dari Ust. Ihya Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Malang. Sudah pukul 10.30. Tetapi, beliau belum juga hadir. Barangkali ada halangan di jalan. Sementara alunan qiraatul Qur’an sebagai pengisi waktu baru saja usai. Pembawa acara kemudian menambah lagi acara sisipan sambutan dari wali santri, yang bagi sebagian orang tentu lebih bersifat seremonial belaka. Juga bagi saya. Apalagi acara istihlal ini memaksa saya harus menambah jumlah hari membolos dari mengikuti kursus Bahasa Inggris setiap hari Sabtu.Tetapi nampaknya sangkaan saya salah.
Maju ke panggung, seorang yang sudah berumur dengan batik coklat dan peci kuning muda bundar di kepala. Taksiran saya umurnya 65 tahunan, setidaknya tampak lebih tua dari pada Ayah saya. Pembawa acara menyebut namanya Ust. Khusnul Arifin. Gigi depannya sudah tampak habis, setidaknya bisa saya lihat pada saat mengucap salam pembuka. Tetapi, suaranya masih nyaring. Tidak kikuk. Tidak demam panggung. Saya menjadi mafhum ketika teman di sebelah saya mengatakan kalau Ustadz itu sudah sering diundang mengisi ceramah di berbagai tempat.
“Saya tua-tua begini adalah murid dari Ust. Ihya Ulumiddin,” begitu beliau membuka pembicaraan. Saya langsung menduga ia akan bercerita panjang, bukan sekadar memberikan sambutan. “Dulu saya nyantri ke Ust. Ihya yang umurnya jauh lebih muda dari saya.”

Benar. Ia lalu bercerita tentang masa mengaji dulu dan kegamangannya akan dunia pendidikan anak-anak kini yang dinilainya sangat penting bagi penyelamatan akidah mereka. Ia menyitir pesan Nabi Ya’qub pada anak-anaknya sebelum meninggal, “Apa yang bakal kalian semua sembah setelah aku tidak ada?” Pesan ini begitu mempengaruhinya hingga ia pilih-pilih dalam menyekolahkan anak-anaknya.
“Oleh karena itu, cucu saya, saya masukkan di SD ini.”
Demikian kakek itu bercerita hingga Ustadz Ihya yang ditunggu-tunggu telah datang di pintu gerbang. Sambil menyudahi pidatonya, ia berkata sambil memandang ke arah Ustadz yang sedang masuk ke ruangan, “Masio isik enom, niku guru kulo.”

***

Saya begitu terpengaruh dengan ucapan kakek itu terakhir sebelum turun panggung. “Masio isik enom, niku guru kulo.” Meski masih muda (dari saya), beliau itu guru saya. Bagi saya, itu kalimat sederhana yang sarat makna dan tata-krama.
Betapa tidak? Kakek itu sampai detik ini masih menyebut “guru” kepada ustadz yang dulu, dulu sekali, pernah mengajarinya mengaji. Ia tidak menyebutnya dengan “mantan guru”, “pernah jadi guru”, apalagi “bekas guru.” Ia tetap menyebutnya “guru”, meski ia sendiri sudah tidak muda lagi.
Ini menunjukkan tata-krama yang luar biasa terhadap orang yang pernah berjasa membuat kita dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Dari bodoh menjadi pandai. Siapa saja. Bahkan Ali bin Abi Thalib r.a. pernah mengatakan bahwa siapa saja yang pernah mengajari kita, meski hanya satu huruf, adalah guru kita. Mungkin musuh kita adalah guru kita juga. Boleh jadi.

Imam Al-Ghazali, misalnya, diceritakan pernah dirampok. Ketika beliau meminta bukunya agar tidak dibawa serta, perampok itu berkata, “Ilmu itu ada di dalam dada, bukan di dalam buku!” Setelah itu, konon penulis kitab Ihya yang terkenal itu lebih banyak menghafal daripada mengandalkan buku/tulisan. Barangkali, sekali lagi barangkali, beliau akan menyebut perampok itu sebagai “guru” juga.

***

Saya jadi teringat lebaran kemarin. Setelah dari mertua di Bangkalan, saya berkunjung ke Ponorogo, kota kelahiran saya untuk sungkem pada orang tua sebagaimana tradisi tiap tahun. Selama 4 hari saya sekeluarga di kota Reog itu. Biasanya saya akan mengutamakan silaturahmi ke keluarga dan kerabat di rumah, kemudian ke tetangga-tetangga sekitar rumah, ke saudara yang agak jauh tempatnya, baru kemudian ke guru-guru sekolah semasa SD. Yang terakhir ini karena kebetulan saya dan delapan adik saya sekandung bersekolah di SD yang sama. SD Ma’arif Ponorogo.

Hingga saatnya kembali ke Surabaya, saya belum sempat silaturahmi ke guru-guru SD ini. Istri saya memang kebetulan lagi mengandung anak saya keempat saat ini. Sudah jalan tujuh bulan. Tak jarang ia merasa mual-mual tiba-tiba tanpa sebab. Atau capek. Ditambah lagi, Ayah saya menyodorkan sebuah surat dari pengurus pembangunan SD tempat saya bersekolah dulu. Sudah bisa ditebak, isinya adalah permintaan bantuan dana pembangunan.
“Sebenarnya tahun lalu kamu juga dapat surat serupa,” kata Ayah. “Tetapi, tidak Ayah sampaikan.”
Saya maklum. Mungkin Ayah menjaga agar permintaan dana itu tidak menjadi beban saya. Beliau tahu keadaan saya. Akhirnya, karena waktu dan keadaan –serta bagaimanapun juga karena surat itu — terpaksalah saya tidak jadi berkunjung ke guru-guru SD sebagaimana tahun-tahun kemarin.

Saya jadi teringat pula dengan guru-guru SMP dan SMA, yang saat-saat lebaran dulu masih sempat saya kunjungi. Tetapi, lima tahun terakhir, sudah tidak satu orang pun dari mereka yang saya temui. Bahkan ketika kemarin lewat di depan rumah salah seorang guru SMP yang dulu sangat dekat dengan saya, di dekat Ponpes Durisawo Ponorogo, saya sempat berujar pada adik-adik saya yang lain bahwa itu adalah rumah guru saya. Tetapi, astaghfirullah, saya kesulitan menyebut namanya saat itu. Sama sekali lupa, meski saya tidak melupakan wajah dengan peci hitamnya itu.
Kakek itu, yang telah berumur senja saja, masih teringat dan juga menemui gurunya yang dulu, dulu sekali ketika masih muda, padanya ia menimba ilmu. Sedangkan saya, yang secara fisik masih muda, tidak kekurangan apapun untuk melangkahkan kaki, bahkan sama perusahaan diberi fasilitas kendaraan, satu demi satu guru saya tidak pernah saya kunjungi lagi. Meski hanya untuk setahun sekali.

Saya semakin malu ketika tiba-tiba teringat kejadian itu. Pak Darsono, guru kimia saya sewaktu di SMA dulu, yang kini mengajar di kedutaan besar Saudi Arabia di Jeddah, pada hari raya lebaran tahun lalu justru mengirim SMS ucapan selamat Idul Fitri ke ponsel saya lebih dulu. Guru saya menyampaikan mohon maaf lahir batin pada saya, muridnya?
Saya buru-buru menulis SMS berikut ini:
Selamat Idul Fitri 1426 H. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon maaf lahir dan tin. Dari: Bahtiar, murid Bapak di SMA dulu

Saya kemudian mencari nomor ponsel beliau di address book PDA saya yang baru. Fasilitas dari kantor. Saya ingin mendahului beliau mengirim ucapan selamat itu lebaran ini. Jangan sampai keduluan lagi. Dan setelah saya cari-cari, nomor ponsel guru saya itu ternyata . sudah tidak ada lagi. Mungkinkah sudah terhapus? Saya bahkan tak ingat lagi.
Saya tercenung. Bahkan untuk menyimpan nomor telepon salah seorang guru saja, saya sudah begitu abaikan. Betapa durhakanya saya!
Wa Allahu a’lamu bi shawab.

Surabaya, 27 Nopember 2005 Renungan di Hari Guru Maafkan muridmu yang tak punya tata-krama ini, Pak Dar.
Penulis Ketua FLP Jatim 2004-2006

Tags: , ,

Leave a comment