Tapi, dimana Allah ?

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kayakinan akan “campur tangan” Sang Khaliq kepada makhluknya mutlak diperlukan. Betapa kita manusia ini hanyalah sekedar menjalankan gerak langkah menyusuri tapak kehidupan yang semua ada dalam rengkuhan Allah. Namun seringkali kita merasa bahwa kitalah yang mampu menghidupi diri sendiri. Kesombongan akan kemampuan diri dalam berkarya, mengumpulkan harta, mengejar kemuliaan, seakan dijadikan sebagai panglima. Sikap bahwa diri pribadilah penentu keberhasilan, tanpa melibatkan Sang Penentu, seakan menjadi sikap yang memang sudah selayaknya begitu. Menepuk dada atas kemuliaan yang diperoleh, ketenaran yang didapat, telah menjadi sikap yang lumrah.

Padahal Allah-lah diatas segalanya. Ingatlah akan kisah Umar dan bocah penggembala kambing.

Ketika Umar melihat seorang anak gembala bersahaja dengan pakaian sangat sederhana sedang menggembalakan kambing yang amat banyak milik majikannya, beliau bertanya: “Nak, bolehkah aku membeli kambing yang sedang kau gembalakan itu satu ekor saja ? Si anak gembala menjawab: “Kambing ini bukan milikku melainkan milik majikanku. Aku tidak boleh menjualnya”. Umar bin Khatab membujuk: “Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?” Dijawab oleh anak tersebut dengan mantab: “Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya.” Umar bin Khatab terus mencoba membujuk: “Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti.” Anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.

Umar bin Khatab dengan nada yang ditinggikan berkata: “Mengapa kamu ini bodoh benar! Kambing itu amat banyak. Majikan kamu tidak tahu jumlahnya. Kalau kamu jual satu, majikan kamu tidak akan tahu. Di sini juga tidak ada orang lain. Hanya ada aku dengan kamu. Tidak ada orang lain yang tahu.” Anak gembala miskin itu dengan tetap tegar menjawab: “Memang tidak ada orang disekitar sini. Tapi dimana Allah ? Allah Maha Tahu, Allah menyaksian semua yang terjadi”.

Mendengar jawaban anak gembala itu, Umar bin Khatab, Amirul Mu’minin yang gagah perkasa tersebut menangis. Dan mendekap anak gembala itu dengan penuh kasih sayang.

Atau barangkali tentu kita telah mendengar siapa Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang luar biasa. Menjadi pemimpin mukmin tidak terlalu lama, namun menciptakan perubahan yang luar biasa. Kepemimpinan dan akhlaknya telah menjadi teladan bagi kita semua hingga sekarang.

Tahukah anda bahwa beliau adalah keturunan dari berkah keyakinan terhadap Allah ?

Silsilah keturunan Umar bin Abdul Aziz dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khatab.

Pada suatu malam saat Umar bin Khatab melakukan kegiatannya meronda di sekitar daerah kekuasaannya, beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari

Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini

Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.

Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.

Ketika pulang ke rumah, beliau kemudian menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

Lihatlah betapa keyakinan akan kehadiran Allah disetiap langkah kita akan membuat segala perbuatan menjadi bermakna. Jika semua orang menyadari hal tersebut, alangkah indahnya dunia ini.

Ketika tibul niat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, segera tibul pikiran : “Semua orang tidak tahu aku berbuat begini, tapi dimana Allah ?”

Allah menyaksikan semua perbuatan kita.

No Responses to “Tapi, dimana Allah ?”

  1. Kekuatan Sholat Bersama « kang tutur’s weblog Says:

    […] muslim bergegas meniggalkan “urusan dunia” mereka berburu kemenangan yang dijanjikan Allah swt. Sopir-sopir angkot, metro mini, kopaja, bajaj berhenti maka penumpangnya bila muslim akan ikut […]

  2. aRuL Says:

    Moga banyak orang yang membaca tulisan ini dan mencernanya 🙂

  3. yakiniku Says:

    saya sampai menangis mendengar critanya

Leave a reply to yakiniku Cancel reply